BLOGGER TEMPLATES AND TWITTER BACKGROUNDS »

Senin, 04 Mei 2009

Seringai dan Perisai: versi wayang dan Si Dekil

030209

Semalam Lingga mencoba menonton pertunjukkan di televise setelah menghabiskan tiga puluh lembar tisu. Dia masih gak percaya bahwa dia harus ikhlas karena telah kehilangan boneka beruang kecil kesayangannya (si dekil), yang telah dia miliki satu setengah tahun yang lalu. Semalam, tiba-tiba boneka itu menghilang dari kamarnya. Boneka yang selalu ia peluk erat saat kedinginan. Boneka yang selalu mendengarkannya saat ia ajak bicara dengan penuh harap sang tedy bear itu membalas curhatannnya. Boneka yang selalu ia gigit dan tonjok-tonjok kalo ia sedang kesal. Boneka yang slalu ia cium-ciumi saat ia sedang bahagia. Dan, boneka yang slalu menjadi teman tidurnya hingga tidak terhitung berapa bekas “pulau” yang ada di dalam tubuh beruang itu.

Semua kenangan yang telah dia lakukan bersama boneka itu begitu terasa dan sangat disayangkan bila harus berpisah secara tiba-tiba. Lingga menangis. Hingga matanya sembab. Dia berteriak. Namun, seorang lelaki dewasa segera memberitahunya supaya Lingga harus ikhlas.

“Berapa lama kita belajar ikhlas?” Tanya Lingga yang masih berlinangan air mata.

“Itu semua tergantung kamu sendiri, Lingga… karena ikhlas itu berasal dari hati…” kata lelaki itu penuh bijak.

Lingga tetap saja tidak bisa terima. Dia tidak mau mengikhlaskan boneka kesayangannya. Sama sekali gak mau. Dia merasa bahwa dia masih butuh boneka itu karena hanya boneka itu yang bisa ngertiin dia.

“yang paling ampuh untuk menguasai ilmu ikhlas adalah saat kita tau dan sanggup untuk melepas hal terindah kta walau hal tersakit menghampiri kita. Jika kita mampu melewati dengan senyum dan iman yang tak berkurang inilah bukti ilmu ikhlas telah didapat…” lanjut lelaki itu panjang lebar.

HUUAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA… Tangis Lingga semakin menderu…

SRRROOOTTTTTTTTTTTTTTT!!

Dia menarik ingusnya yang mulai membuat hidungnya mampet.

“… tapi, saat aku tersenyum… satu detik itu juga, aku nangis lagi… huaaaaaa…” Lingga mencoba bicara, namun tetap saja dia malah kembali menangis.

“sabar, ya…” tambah lelaki itu. Mungkin, dia udah gak ngerti lagi bagaimana membuat Lingga menjadi tenang kembali.

Pernyataan itu terlalu klise. Terlalu umum buat Lingga. Dia ingin jawaban yang benar-benar bisa membuatnya bersemangadh lagi dan meneruskan hidupnya karena sudah lebih dari 3 jam ini Lingga hanya terduduk di kamar, menarik ingus, mengambil tisu, mengelap ingus, mengambil tisu, and so on.

“… emangnya bener? Kalo manusia itu sama kayak wayang?”Lingga tiba-tiba mempertanyakan hal yang pernah dia denger dari tivi.

“bener. Kita itu wayang. Kita itu bayangan yang tak bisa mengalahkan sinar yang mengarahkan kemana bayangan itu mengarah… Nikmati aja sinar itu…” Ternyata lelaki itu setuju dengan filosofi itu. Lingga semakin gak setuju dan setengah penasaran. Dia pun mencoba menyalakan televisi. Cari tongtonan wayang.

*mute: on*

Lingga hanya melihat pertunjukkan wayang tanpa suara. Dia melihat dengan seksama.

“… Hoaaaaammmm…” Lingga mulai menguap. Dan masih menarik ingusnya.

SROOOTTTTTTTTTTT!!

Dan sesekali air matanya menetes dengan sendirinya.

30 menit. Lingga tertegun melihat layar televisi.

Ada dua wayang. Entah siapa kedua tokoh wayang itu. Lingga gak peduli. Yang jelas, yang ia tahu… boneka-boneka itu seperti benda mati. Benda mati yang hidup karena ada sang dalang. Tangan-tangannya digerakkan seenak dalangnya. Gerak ke atas. Ke samping. Atau, ke bawah. Wayang itu pun pasrah-pasrah aja. Wayang itu gak protes sama dalangnya. Mungkin, karena mereka tahu bahwa justru mereka berterimakasih pada sang dalang… kalau gak ada sang dalang yang menggerakkan mereka, maka mereka pun tidak akan (terkesan) hidup. Wayang-wayang itu mungkin telah berhasil belajar untuk IKHLAS digerak-gerakkan oleh sang dalang…


Huffff….

Lingga menghela nafas. Semakin bingung.
Dia gak mau disamain dengan wayang.
Kalaupun harus menjadi wayang, dia mau menjadi wayang yang menjunjung nlai demokrasi liberal. Dia bakal mencoba memberontak dari aksi si dalang…
Tapi, sayangnya… gak ada wayang yang seperti itu. Yang ada hanya boneka CHUKI yang jahat dan binal…

HHHHUUUUUAAAAAAAAAAAAAAAAA!!

Lingga kembali menangis. Dia melempar bantalnya ke lantai. Namun, tiba-tiba secarik kertas terbang ke arahnya…

Walaupun dia masih berumur 5 tahun dan belum bisa mengeja dengan benar. Namun, dia membaca tulisan itu secara perlahan-lahan. Memastikan tidak akan terlewat satu huruf pun.

“Lingga, maaf aku meninggalkanmu…
Sekarang aku udah gak bisa lagi dengerin kamu curhat…
Gak bisa kamu peluk lagi. Gak bisa kamu ileri lagi. Gak bisa kamu gigit lagi.
Maaf, aku gak bisa berada di sampingmu lagi.
Jaga diri kamu baik-baik, ya…
Sekarang aku berada bersama anak yang sedang membutuhkanku, sama seperti kamu dulu.
Karena kamu sekarang udah besar, aku harus meninggalkanmu walaupun aku sendiri berat untuk meninggalkanmu…
Lingga, jangan lupa untuk tetap tersenyum…

-si'dekil- ”

Lingga tersenyum di akhir kalimat surat itu. Tapi, tetap saja dia tak kuasa menahan sakit dan tangisnya. Lingga mengambil tisu.

SSRROOOOTTTTTTTTTTTTTTTTTTT!!

Mengelap ingusnya.

Lingga berlari ke ruang tamu dan menghampiri mamanya.
“Ma, Lingga mau belajar IKHLAS. Mama bisa panggilin guru les privat pelajaran IKHLAS, gak???”


[drive-melepasmu.mp3: PLAYS]

0 komentar: