Dalam kehidupan sehari-harinya, manusia tidak pernah lepas dari terpaan media, mulai dari media cetak maupun dari media elektronik, seperti radio, televisi, ataupun internet. Namun, hanya ada sebagian lapisan masyarakat tertentu yang mempunyai kebiasaan membaca koran atau majalah dan memiliki tingkat kesadaran kritis yang cukup terasah (Haryatmoko, 2007:145). Tidak sedikit pula masyarakat yang cenderung menelan begitu saja atas apa yang disampaikan oleh sumber informasi. Apalagi, jika masyarakat Indonesia telah dimanjakan adanya media elektronik yang membuat mereka hanya duduk terlena, yaitu televisi. Padahal, televisi menyajikan informasi atau tayangan yang telah termediasi, misalnya akibat proses penyuntingan gambar. Audience tidak diberikan informasi atau tayangan secara utuh, namun hanya disuguhkan sebagian dan yang telah terpilih. Oleh karena itu, jelas bahwa terdapat satu tujuan yang ingin dibentuk, yaitu ingin mengkonstruksikan pesan tertentu kepada para audience (Silverstone, 1994:135).
Pada dasarnya, media merupakan channel yang dapat membantu manusia untuk mendapatkan informasi. Namun, tanpa kita sadari bahwa informasi ternyata selalu sudah merupakan interpretasi (Haryatmoko, 2007:146). Informasi yang kita peroleh dari media sebenarnya telah diinterpretasikan oleh komunikator terlebih dahulu sebelum pesan tersebut sampai kepada kita. Oleh karena itu, informasi tidak pernah netral. Bahkan, dapat mempengaruhi dalam pembentukkan opini seseorang. Dengan demikian, informasi terbentuk adanya kebebasan berekspresi dari individu terhadap suatu realita yang dia amati.
Melihat bahwa informasi adalah bentuk dari interpretasi seseorang, maka perlu adanya regulasi yang mengatur dari pihak yang memegang kekuasaan mutlak, dalam hal ini khususnya adalah Pemerintah. Oleh karena itu, regulasi media dirasa cukup penting agar informasi yang diberikan kepada masyarakat bukanlah informasi yang hasil dari interpretasi informan melainkan informasi yang berdasarkan realitas yang dihadapi. Dengan begitu, masyarakat tidak merasa dirugikan atau bahkan menimbulkan propaganda. Walaupun dalam prakteknya, regulasi media seringkali mengalami masalah yang menimbulkan dilema.
Keterkaitannya dengan regulasi media, akan dibahas pula mengenai beberapa alasan mengapa regulasi media juga merupakan hal yang penting, dilema dari adanya regulasi media, dan juga mengenai kasus tayangan Be A Man akibat lemahnya regulasi pemerintah.
Regulasi media tidak jarang dianggap sebagai suatu aturan yang bersifat membatasi, adanya kontrol penuh, bahkan dianggap sebagai penghalang atas kebebasan berekspresi. Namun, harus diakui bahwa regulasi media sangat diperlukan dalam situasi tertentu. Berikut terdapat tiga alasan pentingnya regulasi media (Ibid., 148).
Yang pertama adalah regulasi media membantu audience mendapatkan informasi sesuai dengan tuntutan kualitas tertentu. Satu point nilai umum yang terdapat dalam etika dalam media komunikasi di berbagai profesi (Jurnalistik, Periklanan, dan Public Relations) adalah mengenai kebenaran. Jurnalis sendiri sebaiknya jujur, adil, dan bijaksana dalam mengumpulkan, melaporkan, dan menginterpretasikan suatu informasi (Day, 2006:455). Dengan demikian, bentuk regulasi ini sebenarnya justru melidungi kepentingan audience dan membantu untuk menjaga kredibilitas media sendiri sebagai sumber informasi.
Yang kedua adalah regulasi mempunyai sisi di mana menjaga aturan pasar agar tidak terciptanya monopoli atau bahkan komersialisasi media. Namun di sisi lain, regulasi media juga ingin menjawab kelangkaan informasi yang mendidik atau yang diperlukan publik. Sayangnya, program tersebut cenderung tidak mempunyai nilai jual tinggi akibatnya tidak ada media yang tertarik untuk memproduksinya.
Sedangkan yang ketiga, regulasi bukanlah sebagai sarana dari kaum mayoritas untuk mendominasi kaum minoritas. Regulasi justru tetap dapat menjunjung tinggi nilai kebebasan berekspresi setiap individu. Regulasi bahkan dapat memaksa mayoritas untuk tetap mau membuka diri terhadap kritik atas penyimpangan yang telah dilakukan. Hal tersebut dilakukan demi mewujudkan prinsip pluralitas di Indonesia, di mana adanya sikap menghargai kesamaan individu dan memungkinkan partisipasi yang sama dalam proses demokrasi (Haryatmoko, 2007:149).
Regulasi media dalam konteks ini memang diposisikan sebagi suatu prosedur yang dibuat oleh pemerintah demi tujuan yang baik, bukan sebagi suatu batasan yang dapat menganggu hak individu. Namun pada prakteknya, regulasi media sendiri mempunyai masalah yang menyebabkan adanya dilema. Di satu sisi, regulasi mengatur media untuk berada dalam prosedur yang telah ditentukan oleh segala produk hukum, misalnya melalui Undang-Undang Penyiaran, Kode Etik Jurnalistik, Kode Etik Periklanan, dan lain sebagainya. Namun di sisi lain, media pun inginmemperjuangkan apa yang telah mereka lakukan atas nama hak yang mereka miliki, yaitu kebebasan berekspresi (berpikir maupun berpendapat).
Kebebasan berkespresi memang merupakan hak setiap individu. Di dalam UUD 1945 pasal 28 pun mengatakan bahwa setiap warga negara berhak mengeluarkan pendapat. Terdapat salah satu alasan mengapa kebebasan berpikir dan mengungkapakan pendapat dianggap berniali dan layak dilindungi, yaitu karena dapat mengembangkan pengetahuan menuju kebenaran. Kebenaran dan pengetahuan amat dihargai. Bahkan, kebenaran akan selalu mengalahkan kekeliruan dalam perjuangan yang adil (John Milton dan J.S. Mill dalam Teichman, 1998:154).
Secara nyata, dilema regulasi media muncul pada kasus mengenai tayangan reality show Be A Man yang ditayangkan oleh Global TV. Tayangan yang menjadi program acara unggulan tersebut menyajikan bagaimana kaum waria “dikembalikan” menjadi seorang pria dengan segala kegiatan outdoor yang membentuk mental dan fisik mereka seperti pria pada umumnya.
Namun ternyata, ada aksi protes dari komunitas warianya sendiri terhadap tayangan tersebut. Dalam http://www.swaranusa.net, diberitakan bahwa Sonya, perwakilan dari Komunitas Waria di Yogyakarta, mengajukan keberatan atas tayangan Be A Man melalui Komisi Penyiaran Indonesia daerah (KPID) Yogyakarta sejak program acara tersebut ditayangkan pertama kali di salah satu stasiun televisi ternama itu. Anggota KPID Yogyakarta Bidang Isi Penyiaran sendiri mengakui bahwa memang sudah banyak pengaduan yang masuk ke KPID, pengaduan mengenai adanya unsur diskriminasi dan dapat menimbulkan kesan agresif pada waria. Surat protes tersebut pun telah dikirimkan ke KIP Pusat namun sampai saat ini belum ada perkembangan. Bahkan, tayangan Be A Man pun telah hadir dalam Season 2. Ironisnya lagi, sang produser program telah menyiapkan Season 3 di tahun depan.
Tayangan Be A Man dirasa telah mengekploitasi kaum waria dan dapat membentuk opini publik yang buruk terhadap kaum waria itu sendiri. Program acara tersebut justru memberikan penilaian bahwa adanya hal yang baik dan buruk. Kaum waria dianggap sesuatu yang buruk, tidak normal, dan menyimpang. Oleh karena itu, acara tersebut ingin membuat mereka menjadi “normal” agar bisa diterima di masyarakat. Hal tersebut jelas menunjukkan adanya diskriminasi terhadap kaum waria.
Dada, produser program tersebut mengatakan bahwa acara tersebut dijadikan sebagai batu loncatan di dunia entertainment. Namun, penulis merasa bahwa dengan demikian kaum waria justru dijadikan sebagai komoditi hiburan semata. Tingkah laku, nama unik dari peserta, serta ekspresi emosi mereka memang ditujukan untuk hiburan audience dan untuk meningkatkan rating program.
Tim produksi program acara tersebut berdalih bahwa ini adalah hasil karya bagaimana mereka mempunyai kebebasan berekspresi. Akan tetapi, penulis merasa bahwa tayangan tersebut menyimpang dari prosedur regulasi, di mana adanya kekerasa simbolik di dalamnya. Kekerasan simbolik merupakan kekerasan yang berlangsung dengan persetujuan tanpa terungkap dari korbannya, tetapi juga tanpa disadari oleh pelakunya (Haryatmoko, 2007:155). Tindakan eksploitasi dan diskriminasi itulah tergolong dalam kekerasan simbolik.
Ketika alasan kebebasan berekspresi menjadi tameng aksi protes, maka penulis akan melihat kembali penjelasan sebelumnya mengenai mengapa kebebasan berekspresi penting untuk dilindungi. Kebebasan berekspresi ditujukan untuk mengembangkan pengetahuan menuju kebenaran dan kebenaran akan selalu mengalahkan kekeliruan dalam perjuangan yang adil (John Milton dan J.S. Mill dalam Teichman, 1998:154). Namun, kita perlu menggunakan sifat kritis untuk mengartikan sebuah keadilan yang ingin dicapai.
Walzer merumuskan dua rumusan mengenai prinsip keadilan (Walzer dalam Haryatmoko, 2007:167). Yang pertama, dominasi adalah salah. Dan yang kedua, pribadi dan komunitas harus selalu dihormati. Ketidakhirauan KPI Pusat terhadap aksi protes dari komunitas waria sendiri menunjukkan adanya indikasi pihak yang mendominasi dan terdominasi. Keadilan juga berarti bahwa suara dari komunitas yang menyerukan protes juga dihargai sebagai suara dari warga Negara.
Sebenarnya, etika sendiri mempunyai peranan penting dalam mendukung prinsip keadilan, yaitu membongkar hubungan kekuasaan yang disembunyikan melalui media (Ibid.). Tampaknya, ada kecenderungan bahwa adanya praktik politik anatra pihak media dan lembaga KPI Pusat sendiri. Ada kemungkinan bahwa di dalam lembaga pemerintah tersebut telah “dimasukki” oleh orang media sehingga seberapa besar aksi protes yang disuarakan oleh masyarakat, media tersebut dapat tetap berada di posisi aman. Praktik politik seperti itulah yang perlu kita bongkar agar tidak semakin merusak masyarakat. Suara komunitas waria tersebut pun mempunyai hak yang sama untuk bersuara mengeluarkan pendapat.
Dengan demikian, keberlanjutan tayangan program acara Be A Man menandakan bagaimana dilemanya regulasi media yang menyebabkan hingga regulasi tersebut menjadi lemah, khususnya dari tidak pekanya institusi pemegang regulasi, khususnya Komisi Penyiaran Indonesia Pusat, terhadap suara kaum komunitas.
Daftar Pustaka
Day, Louis Alvin. 2006. Ethics in Media Communications Cases and Controversies, 5th ed. Belmont, CA: Thomson Wardsworth.
Haryatmoko. 2007. Etika Komunikasi: Manipulasi Media, Kekerasan, dan Pornografi. Yogyakarta: Kanisius.
Silverstone, Roger. 1994. Television and Everyday Life. London: TJ Press Ltd.
Teichman, Jenny. 1998. Etika Sosial. Yogyakarta: Kanisius.
Eshra, “Be A Man Tetap Tayang, KPI Dituduh Mandul” <http://www.swaranusa.net/?lang=id&rid=62&id=112>, diakses pada tanggal 28 Mei 2009.
0 komentar:
Posting Komentar